Penggunaan pengeras suara oleh
masjid menuai perdebatan antara Persatuan Gereja-gereja Jayapura (PGGJ) dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Papua. Salah seorang Juru Bicara Kemenag,
Matsuki pada Selasa, 20 Maret 2018 kemarin mengatakan kalau pemerintah tidak bisa mengatur regulasi perihal hal ini.
"Pemerintah pusat dan daerah
tidak bisa mengatur masjid secara ketat. Itu kembali ke pengelola masjid untuk bertoleransi dengan kondisi di sekitarnya," ungkap Matsuki.
Matsuki menjelaskan kalau perkara
pengeras suara ini tidak akan terjadi asalkan pengelola masjid bijak. "Di
Papua, banyak umat Kristen di sekitar masjid. Ketika mendirikan umat ibadah,
selain menaati aturan yang ada, harus lihat juga konteks sosial di daerah masjid itu berada."
"Ada hukum adat atau hukum
tak tertulis yang mengharuskan pengelola masjid arif dan bijaksana," jelas Mastuki.
Terdapat beberapa hal yang
diminta oleh PGGJ untuk diperhatikan, salah satunya adalah bunyi azan yang
selama ini diperdengarkan dari toa kepada khalayak umum harus diarahkan ke dalam masjid.
Masalah ini timbul terkait dengan dibangunnya sebuah Masjid di sekitar Sentani yang di renovasi dengan mendirikan menara tinggi.
Baca juga: Menangkan All England 2018, Kevin dan Marcus Lakukan Ini Sebagai Kunci Sukses
Wilem, salah satu warga
mengatakan kalau kerukunan hdup beragama di daerah sekitar rumahnya berjalan
dengan baik. "Kalau dilihat, jarak gereja dan masjid sangat dekat. Begitu
juga dengan rumah-rumah warga, di samping. Jadi, kalau jadwal ibadah di rumah
warga yang dekat dengan masjid, kita selalu tunggu mereka selesai azan baru kita masuk untuk ibadah," terang Wilem.
Kendati demikian, warga tidak
pernah menegur pengurus masjid. "Pendeta melarang kami untuk menegur
mereka. Kalaupun mereka ribut dengan suara toa yang nyaring, pendeta selalu
bilang bahwa kita harus mendoakan mereka," tutupnya.
Hingga saat ini, menag berharap kalau persoalan
ini bisa diselesaikan melalui musyawarah.